NOVEL | PESONA ISTRI GENDUT | eh mas nanggung kalau sekarang masih ada orang
"Eh! Mas, nanggung kalau sekarang. Masih ada isya juga," seloroh Nafisah langsung menyadarkanku Aku beringsut mundur menjauhkan tubuhku darinya. Padahal tadi niatnya cuma bercanda, kok bisa malah menciumnya. Amit-amit jabang bayi. Naf mau ke dapur ya, Mas. Katanya tadi ada yang Mama mau omongin. Aku mengangguk, lalu mengambil mushaf untuk murojaah. Satu-satunya aktivitas yang bisa membuatku tenang. Belum sampai sepuluh menit, tiba-tiba Hp-ku berdering tak karuan. Entah notif grup mana yang tiba-tiba rame begitu. Daripada mengganggu konsentrasiku dan tidak fokus, kujeda murojaah-nya Sambil rebahan di tempat tidur Nafisah yang super besar dan empuk ini, aku membuka aplikasi hijau. Grup alumni teman sekamarku ternyata
Mas Hakim : Widih cocok nih buat dibawa ke kondangan. Masih gadis nggak nih
@Anwar Anwar : Oh! Ya jelas masih gadis ting-ting
Fildan:@Amir mana nih? Ayo tuh udah ditawarin sama Anwar. Sikat aja yok
Fildan : @Amir mana nih? Ayo tuh udah ditawarin sama Anwar. Sikat aja yok
Aku: Nggak waras kalian ya! Kalau Nafisah liat gimana? Abis kalian nanti dihajar sama dia.
Anwar: Duh! Ngerinya, btw nggak engap lu, Mir? Kalau misal ditindih sama dia
Dasar bocah gemblung! Teman-temanku ini memang nggak ada yang waras. Kenapa hobbynya nyomblangin aku ke gadis lain. Ini bukan sekali dia kali aku mendapat foto cewek begini dari mereka.
Aku: Mau tukeran nggak? Biar ada di posisi ane?
Anwar: Moon maap nih Mir. Vika udah lebih dari cukup buat ane
Fildan:Bener nih, Mir. Enakan yang ini daripada yang onoh! Bener-bener ya mereka itu!
Bisanya ngerendahin orang Berasa nggak ada harga dirinya aku di depan mereka semua.
Anwar: Fildan aja setuju tuh. Dia juga kalau soal pendidikan nggak bakalan jomplang sama kamu, Mir. Udah sikat aja.
Hakim : Udah nggak usah ribut. Tuh si cewek oke juga, Nafisah tinggal di rumah aja. Nggak malu apa tiap pergi bawa gentong gitu. Bisa-bisanya mereka saling mengirim stiker tertawa terbahak-bahak melihat kemalanganku. Awas saja ya mereka, kalau sampai aku menemukan yang lebih dari Nafisah. Kan kubalas candaan mereka Aku tak membalas lagi candaan mereka di grup, kuletakkan begitu saja Hp-ku. Sebenarnya di sini sangat membosankan, karena mau ngapain juga sungkan sama mertua. Aku tak begitu paham dengan pekerjaan mereka. Jadi, tak banyak yang bisa kubantu. Aku pergi ke dapur untuk melihat apa yang dilakukan Nafisah dan mamanya. Sayup-sayup kudengar perbincangan mereka agak serius. Aku berhenti di balik dinding untuk mendengarkan pembicaraan mereka Kamu katanya pengen cepet punya anak? Kok, nggak mau diajakin priksa ke dokter sih!" Udah priksa, kok. Cuma yang masih harus ikhtiar lagi, itu yang dikatakan Mas Amir.' "Amir tuh sebenarnya baik, Naf. Tapi kok Mama kasihan ya liat kamu, jadi agak kurusan gini: Gleg! Susah payah kutelan salivaku, agak kurusan gimana. Aku yang liat dia tiap hari aja berasa berat sebalah kalau tidur. Nggak mungkin dia kurusan, makannya aja nggak pernah kurang. Kudengarkan lagi perbincangan mereka.
Ih Mama! Kan Naf emang pengen diet. Dokter bilang Vaf tuh harus diet. Katanya, orang gendut juga bisa sulit hamil. Makanya jangan suruh Naf buat makan terus. Ini lagi proses diet."
Dietnya kalau di rumah aja! Kamu mumpung di sini harus makan yang banyak ya. Mama ada resep baru nih, nanti kalau di rumah bisa masak buat Amir."
Diet, Ma, diet. Naf pengen punya badan yang bagus kayak Mama.
Iya. Tapi, dietnya di rumah aja nanti kalau udah di pulang. Jarang ke sini ya harus makan banyak, sekalian aja Amir ajak makan lagi. Mama kasihan liat dia makin kurus begitu.
"Nanti Naf ajak Mas Amir makan lagi, Naf tuh kasihan juga sama dia, Ma. Soalnya bannya sering kempes kalau boncengin Naf."
"Makanya kamu bantu bujuk dia biar mau bawa satu mobil Papa.
Yaudah, Naf mau ke kamar. Mau liat Mas Amir udah selesai atau belum murojaah-nya.'
Aku tergelak, segera masuk ke dapur dan menghampiri mereka.
Eh, Mas. Ngapain ke sini?" 'Mau ngambil minum. Aku duduk di samping Nafisah, ia menuangkan segelas air dan menyodorkan padaku.
'Terima kasih ya.
Kuberi kecupan singkat di pipinya, hal itu tentunya membuatnya tersipu. Sabar, Mir! Kudu sabar! Berpura- puralah mesra dihadapan mertua supaya namamu baik.
Kalian lagi bahas apasih? Kok, kayaknya seru begitu.
Mama tanya kapan kita punya anak, suruh ke dokter juga. Padahal kita udah rutin ya, Mas. Ikhtiar sama ke dokternya.
Aku berusaha menampilkan senyum terbaikku padahal aslinya pengen menangis meratapi nasibku yang seperti ini. Ehem, iya, Ma. Kami juga saat ini lagi ikhtiar untuk memiliki anak. Tapi mungkin memang belum rezekinya sekarang, doakan aja ya, Ma. Semoga kami juga segera punya momongan," ucapku pada Mama.
Iya deh, Mama pasrahin sama kalian aja ya. Pokoknya Mama selalu doain yang terbaik buat kalian. Baik-baik ya kalian, adem ayem begini kan enak dilihatnya.'
Rasanya mau muntah tiap liat Nafisah senyum begini. Jdah tubuh nggak keurus, wajah juga nggak keurus Padahal, aku juga kalau ngasih uang bulanan ke dia juga selalu aku sisihin buat dia beli perawatan atau apalah. Ya, meskipun harus mikir keras nyari sampingan sana-sini. "Besok kita pulang ya, Naf." "Loh, kok buru-buru? Padahal kalian jarang ke sini."
Pertanyaan itu muncul dari Mama, tentu saja akan bertanya begitu karena Nafisah inikan anak kesayangannya.
Besok sore Amir ada kajian di pondok, Mah. Kebetulan ustadz yang biasa ngisi kajian lagi udzur, dan ustadz lain udah ada tugasnya masing-masing. Jadi, Amir ditawarin sama Pak Kyai buat ngisi kajian," jelasku.
Aku tak bohong. Memang, saat sedang asik berbalas pesan dengan para bocah gemblung itu, ada pesan dari Gus Faqih yang menginfokan hal tersebut.
Ya sudah kalau begitu. Tapi, kalian harus sering-sering ke sini ya jenguk Mama sama Papa.
Aku mengangguk, lantas mengajak Nafisah menunaikan sholat isya karena adzan sudah berkumandang.
Alhamdulillah, sudah selesai untuk hari ini. Tingga siap-siap untuk tidur karena badanku rasanya sakit semua, pegal-pegal dan linu di setiap sendi. Entah kenapa berasa seperti sudah jompo, padahal masih muda ini.
"Mas." = "Ada apa?"
"Ada yang pengen Naf tanyain."
Aku menyusul Nafisah yang sudah duduk di tempat tidur, kupandangin wajahnya. Sebenarnya sih dia pasti cantik kalau kurus. Melihatnya yang sekarang, seperti melihat piring saji yang kupakai makan tadi. Sangat bundar.
'Mau tanya apa?"
"Mas nggak mau lanjutin yang tadi ketunda?"
Tidak ada komentar